Opini Hukum Mengenai Putusan Perpanjangan Penghapusan Merek
Mahkamah Konstitusi (MK) melalui Putusan No. 144/PUU-XXI/2023 telah menegaskan bahwa ketentuan Pasal 74 Ayat (1) Undang-Undang No. 20 Tahun 2016 tentang Merek dan Indikasi Geografis, yang mengatur penghapusan merek apabila tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut, bertentangan dengan prinsip kepastian hukum. Perpanjangan jangka waktu ini dari 3 tahun menjadi 5 tahun membawa keadilan yang lebih proporsional bagi pelaku usaha, khususnya Usaha Mikro, Kecil, dan Menengah (UMKM) yang sering menghadapi kendala dalam menjalankan usaha secara konsisten.
Sejak pendaftaran merek hingga penerbitan sertifikat kepemilikan, biasanya dibutuhkan waktu sekitar 18 bulan (1,5 tahun). Selama periode ini, perlindungan hukum merek dimulai dari tanggal pendaftaran, bukan dari tanggal sertifikat diterbitkan. Hal ini mengakibatkan banyak UMKM belum memanfaatkan merek tersebut secara komersial karena ketidakpastian kepemilikan, yang membuat mereka ragu untuk mengalokasikan dana untuk produksi dan pemasaran hingga kepemilikan yang sah diperoleh.
Klien kami telah membuktikan bahwa mereknya digunakan dalam perdagangan dengan dukungan kuat dari asosiasi perdagangan dan pengakuan resmi dari Diskoperindag. Hal ini menunjukkan bahwa klaim penggunaan merek oleh klien kami valid dan substansial.
Pandangan Lain
Pandangan yang menyatakan bahwa judicial review ke MK seharusnya ditolak karena dianggap tidak melibatkan pelanggaran hak pribadi yang signifikan. Opini ini mengabaikan aspek fundamental dari kerugian konstitusional yang dihadapi pelaku usaha seperti klien kami. Pasal 74 UU Merek dan Indikasi Geografis memberikan celah bagi pihak ketiga untuk mengajukan penghapusan merek dengan dalih non-penggunaan selama 3 tahun berturut-turut, sering kali berdasarkan survei yang meragukan kredibilitasnya.
Bagaimana mungkin kita bisa mempercayai survei semacam itu jika:
Lembaga survei perdagangan yang digunakan baru berdiri dalam kurun waktu 1-2 tahun, sementara yang disurvei adalah penggunaan merek selama 3 tahun berturut-turut sejak pendaftaran atau penggunaan terakhir secara konsisten, bukan secara parsial.
Lembaga survei tersebut sering kali hanya melakukan survei dalam jangka waktu singkat, 1-2 bulan saja, namun menyimpulkan bahwa produk tersebut tidak digunakan selama 3 tahun berturut-turut.
Selain itu, banyak lembaga survei yang digunakan penggugat dalam gugatan penghapusan merek tidak memenuhi standar akuntabilitas, seperti:
Tidak adanya Surat Tugas resmi yang mencantumkan nama serta kontak peneliti utama dan principal dari survei tersebut.
Tidak ada persetujuan atau tanda tangan Inform Consent dari responden yang bersangkutan, yang seharusnya menjadi dasar etis dalam pengumpulan data survei.
Kami tegaskan bahwa gugatan penghapusan merek yang bergantung pada survei dengan kredibilitas meragukan ini tidak dapat diandalkan. Survei semacam itu tidak memiliki validitas hukum yang kuat dan rawan disalahgunakan untuk kepentingan pihak yang bermodal besar guna merugikan UMKM.
Putusan MK ini bukan hanya kemenangan bagi klien kami, tetapi juga kemenangan bagi seluruh UMKM di Indonesia. Perlindungan hukum yang memberikan kepastian, keadilan, dan kemanfaatan adalah elemen kunci dalam menjaga pertumbuhan dan keberlanjutan usaha yang adil dan kompetitif.