Keabsahan Penggunaan Dokumen Hukum Lintas Negara Dalam Peradilan di Indonesia

James E. Tamba, SH., MH., CTA.

7 min read

Era globalisasi yang kian pesat, ditandai dengan interaksi lintas batas negara tidak hanya terbatas pada sektor ekonomi, tetapi juga merambah ke ranah hukum. Sengketa yang melibatkan pihak-pihak dari berbagai yurisdiksi dan juga asset-aset yang berada di negara yang berbeda, kini bukan lagi hal yang asing dalam dunia peradilan Indonesia. Beberapa waktu lalu, sebuah kasus sengketa warisan yang melibatkan seorang warga negara Indonesia dengan aset berupa properti di Australia, menuntut pengajuan dokumen kepemilikan dari Australia ke pengadilan di Indonesia. Dokumen tersebut telah dilegalisasi oleh notaris publik di Sydney, tetapi tidak disertai dengan apostille. Kasus ini menimbulkan pertanyaan fundamental mengenai kekuatan pembuktian dokumen asing tersebut di hadapan hakim Indonesia, mengingat pentingnya kepastian hukum dalam pembuktian.

Kasus lain yang kerap muncul adalah sengketa jual beli internasional, di mana salah satu pihak mengajukan bukti berupa kontrak atau faktur yang diterbitkan di luar negeri. Misalnya, sebuah perusahaan dagang di Surabaya menggugat mitra bisnisnya di Singapura atas wanprestasi, dengan bukti kontrak yang ditandatangani di Singapura dan dilegalisir oleh notaris setempat. Tanpa apostille, hakim di Indonesia dihadapkan pada dilema: apakah harus menerima begitu saja keaslian dan keabsahan dokumen tersebut, ataukah harus menuntut proses legalisasi yang lebih ketat sesuai standar internasional? Situasi ini menyoroti celah dalam penerimaan bukti asing yang dapat memengaruhi arah putusan pengadilan dan keadilan bagi para pihak yang bersengketa.

Banyak sengketa kepemilikan barang bergerak seperti kendaraan mewah atau karya seni yang diimpor dari luar negeri, yang kemudian menjadi objek sengketa di Indonesia. Dokumen-dokumen kepemilikan dari negara asal, seperti Bill of Sale atau Certificate of Origin, seringkali diajukan sebagai alat bukti utama. Apabila dokumen-dokumen ini hanya dilegalisasi oleh notaris di negara penerbit tanpa apostille, pertanyaannya adalah bagaimana pengadilan Indonesia dapat menjamin kebenaran dan keabsahan informasi yang terkandung di dalamnya. Potensi penyalahgunaan atau pemalsuan dokumen menjadi risiko serius yang dapat menyesatkan hakim dalam pengambilan keputusan.

Salah satu perkara yang ditangani Lex Aeterna Lawfirm di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat Nomor 21/Pdt.Sus-HKI/Merek/2025/PN Niaga Jkt.Pst. yaitu gugatan dari Perusahaan asing dari negara India, mengajukan gugatan pembatalan merek terhadap pengusaha UMKM yang ada di Indonesia, yang di bela oleh Lex Aeterna Lawfirm. Penulis yang juga menjadi salah satu kuasa hukum, dalam acara persidangan tanggal 11 Juni 2025 di Pengadilan Niaga Jakarta Pusat, mempertanyakan keabsahan dokumen asing yang tidak diapostil. Apa jaminan kebenaran dari data yang disajikan dokumen tersebut apabila tidak diverifikasi oleh negara asal usul dokumen asing tersebut. Dr. Hotma P. Sibuea sebagai ahli hukum yang dimintai keterangan dalam perkara tersebut menyatakan bahwa dokumen asing tidak serta merta dapat diterima oleh peradilan di Indonesia, terlebih lagi dokumen yang tidak diapostil.

Permasalahan Hukum yang Timbul dalam Peradilan di Indonesia Terkait Dokumen Asing yang Tidak Diapostille

Permasalahan utama yang muncul adalah apakah dokumen hukum yang berasal dari negara asing, seperti dokumen kepemilikan suatu barang, yang diajukan dalam peradilan di Indonesia dan telah dilegalisasi oleh notaris dari negara bersangkutan, namun tidak diapostille, memiliki kekuatan pembuktian yang sah?

Berdasarkan Konvensi Den Haag 1961 tentang Penghapusan Persyaratan Legalisasi Dokumen Publik Asing (Konvensi Apostille), apostille adalah bentuk sertifikasi tunggal yang memvalidasi keaslian tanda tangan, kapasitas penanda tangan, dan identitas segel atau cap pada dokumen publik asing. Indonesia telah meratifikasi Konvensi Apostille melalui Peraturan Presiden Nomor 2 Tahun 2021 tentang Pengesahan Convention Abolishing The Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Dokumen Publik Asing). Pasal 1 ayat (1) Peraturan Presiden tersebut secara eksplisit menyatakan: "Mengesahkan Convention Abolishing The Requirement of Legalisation for Foreign Public Documents (Konvensi Penghapusan Persyaratan Legalisasi Dokumen Publik Asing) yang telah ditandatangani di Den Haag pada tanggal 5 Oktober 1961." Dengan demikian, secara ideal, dokumen publik asing yang akan digunakan di Indonesia harus disertai dengan apostille untuk diakui secara sah tanpa memerlukan legalisasi lebih lanjut oleh kedutaan atau konsulat Indonesia di negara asing.

Ketika dokumen asing hanya dilegalisasi oleh notaris negara asal tanpa apostille, muncul beberapa pertanyaan krusial dalam konteks hukum pembuktian di Indonesia:

1. Apakah legalisasi notaris asing tanpa apostille cukup untuk menjamin keaslian dokumen? Legalisasi notaris asing hanya mengonfirmasi bahwa tanda tangan dan cap notaris tersebut adalah asli di negara asalnya. Namun, tanpa apostille, pengadilan Indonesia tidak memiliki mekanisme standar dan terverifikasi secara internasional untuk memastikan keaslian tanda tangan notaris itu sendiri atau otoritas notaris tersebut di mata hukum internasional.

2. Bagaimana status hukum dokumen tersebut dalam hierarki alat bukti di Indonesia? Berdasarkan Pasal 1866 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), alat bukti yang sah meliputi: "bukti dengan tulisan, bukti dengan saksi-saksi, persangkaan-persangkaan, pengakuan dan sumpah." Dokumen yang diajukan, baik akta otentik maupun akta di bawah tangan, termasuk dalam kategori "bukti dengan tulisan".

Kekuatan Pembuktian Akta Otentik: Merujuk pada Pasal 1868 KUHPerdata, "Suatu akta otentik ialah suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat." Akta otentik memiliki kekuatan pembuktian sempurna (volledige bewijskracht) dan mengikat (bindende bewijskracht) sebagaimana diatur dalam Pasal 1870 KUHPerdata: "Suatu akta otentik memberikan di antara para pihak beserta ahli warisnya dan orang-orang yang mendapat hak dari mereka, suatu bukti yang sempurna tentang apa yang termuat di dalamnya." Artinya, isi akta otentik dianggap benar, kecuali dapat dibuktikan sebaliknya.

Dokumen yang hanya dilegalisasi oleh notaris asing tanpa apostille, jika tidak memenuhi syarat akta otentik Indonesia, akan dikategorikan sebagai akta di bawah tangan. Menurut Pasal 1875 KUHPerdata, "Suatu tulisan di bawah tangan yang diakui oleh orang terhadap siapa tulisan itu hendak dipakai, atau yang dianggap menurut undang-undang diakui, memberikan kekuatan bukti yang sempurna seperti suatu akta otentik, sejauh tidak dapat dibuktikan sebaliknya." Namun, Pasal 1876 KUHPerdata mensyaratkan bahwa pihak yang terhadapnya diajukan akta di bawah tangan diwajibkan mengakui atau memungkiri tanda tangannya. Tanpa apostille, pengakuan terhadap tanda tangan notaris asing dan keabsahan legalisasinya menjadi persoalan mendasar.

Apakah Pengadilan wajib menerima dokumen asing tersebut, atau dapatkah Pengadilan menolaknya? Prinsip kebebasan hakim dalam menilai alat bukti (terkandung dalam semangat Pasal 164 HIR dan Pasal 284 RBG, yang merupakan hukum acara perdata yang merujuk pada alat bukti dalam KUHPerdata) memberikan diskresi. Namun, kebebasan ini tidak absolut. Hakim harus sangat berhati-hati dalam menerima dokumen asing yang keabsahannya diragukan. Tanpa apostille, keabsahan dokumen formalitasnya menjadi cacat, berpotensi memicu permasalahan di persidangan. Hakim dapat menuntut verifikasi lebih lanjut untuk memastikan keabsahan dokumen, atau bahkan menolaknya jika keyakinannya atas kebenaran dokumen tidak terpenuhi.

Hasil Penelitian Terdahulu dan Relevansinya

Penelitian mengenai keabsahan dokumen asing dalam peradilan nasional telah banyak dilakukan, khususnya setelah ratifikasi Konvensi Apostille oleh berbagai negara. Sebuah studi yang relevan dilakukan oleh Wida Puspita Dewi dalam jurnalnya "Analisis Peran Apostille Dalam Pembuktian Dokumen Asing Pada Proses Peradilan Perdata di Indonesia Pasca Ratifikasi Konvensi Den Haag 1961" (Jurnal Hukum dan Pembangunan, Vol. 51 No. 3, 2022). Penelitian ini secara komprehensif mengkaji bagaimana Apostille mengubah lanskap pembuktian dokumen asing di Indonesia.

Menurut Dewi (2022), sebelum ratifikasi Konvensi Apostille, proses legalisasi dokumen asing di Indonesia sangat kompleks dan memakan waktu, melibatkan beberapa tahapan mulai dari Kementerian Luar Negeri negara asal hingga Kedutaan Besar Republik Indonesia. Proses ini seringkali menjadi hambatan dalam penyelesaian sengketa perdata lintas negara. Setelah ratifikasi, Apostille diharapkan menyederhanakan proses ini secara signifikan, sehingga dokumen yang telah diapostille dapat langsung diakui oleh pengadilan Indonesia tanpa memerlukan legalisasi tambahan.

Lebih lanjut, Dewi (2022) menggarisbawahi bahwa meskipun Apostille memberikan kemudahan, prinsip kehati-hatian hakim tetap esensial. Hakim memiliki wewenang untuk menilai keabsahan dokumen berdasarkan keyakinan hakim dan alat bukti lain yang sah. Artinya, meskipun dokumen telah diapostille, jika ada keraguan kuat mengenai keaslian materiilnya (misalnya, dugaan pemalsuan isi dokumen), hakim tetap dapat memerintahkan pemeriksaan lebih lanjut. Namun, ketiadaan apostille pada dokumen publik asing yang diajukan setelah ratifikasi Konvensi Apostille akan secara inheren melemahkan kekuatan pembuktiannya, karena tidak memenuhi formalitas yang dipersyaratkan oleh hukum internasional yang telah diratifikasi oleh Indonesia. Hal ini sejalan dengan argumentasi bahwa dokumen tanpa apostille akan sangat rentan terhadap sanggahan di persidangan.

Analisis Dampak Penggunaan Dokumen Asing Tanpa Apostille dalam Peradilan di Indonesia

Penggunaan dokumen asing tanpa apostille dalam peradilan di Indonesia dapat menimbulkan beberapa dampak signifikan, baik positif (dalam konteks fleksibilitas, namun berisiko) maupun negatif:

Dampak Positif (Potensial, Namun Berisiko)

Fleksibilitas Prosedural: Dalam kasus-kasus tertentu, terutama jika nilai sengketa tidak terlalu besar atau urgensinya tinggi, pengadilan mungkin dapat menunjukkan fleksibilitas dengan menerima dokumen yang dilegalisasi notaris asing tanpa apostille, namun harus didukung oleh bukti pendukung lain yang kuat atau pengakuan dari pihak lawan. Ini bisa mempercepat proses peradilan dan mengurangi beban pembuktian.

Mengurangi Beban Biaya dan Waktu: Proses apostille bisa memakan waktu dan biaya tambahan. Dengan tidak adanya persyaratan apostille secara ketat, pihak yang berperkara dapat menghemat sumber daya. Namun, ini datang dengan risiko keabsahan.

Dampak Negatif

Dokumen yang tidak diapostille akan sangat rentan disanggah oleh pihak lawan mengenai keaslian dan keabsahannya. Hakim kemungkinan besar akan menilai kekuatan pembuktian dokumen tersebut sangat lemah, atau bahkan menolaknya sebagai bukti yang valid, karena tidak memenuhi standar formal yang diakui secara internasional. Ini dapat merugikan pihak yang mengajukan bukti, sejalan dengan hasil penelitian Dewi (2022) yang menyatakan bahwa ketiadaan apostille melemahkan kekuatan pembuktian.

Ketiadaan apostille membuka celah lebar bagi kemungkinan pemalsuan dokumen atau pengajuan dokumen yang tidak sah. Tanpa verifikasi standar yang dijamin oleh apostille, pengadilan tidak memiliki cara yang efektif untuk memastikan bahwa dokumen tersebut asli dan dikeluarkan oleh otoritas yang berwenang. Hal ini dapat menyesatkan hakim dalam mengambil keputusan, berujung pada putusan yang tidak adil atau tidak sesuai fakta. Hakim dapat terjerumus dalam keraguan substansial mengenai kredibilitas bukti.

Penerimaan dokumen asing tanpa apostille akan menciptakan ketidakpastian hukum. Jika setiap pengadilan atau setiap hakim memiliki interpretasi yang berbeda-beda mengenai penerimaan dokumen semacam itu, maka konsistensi putusan akan terganggu. Ini merusak prinsip kepastian hukum yang sangat fundamental dalam sistem peradilan.

Pihak yang mengajukan dokumen tanpa apostille kemungkinan besar akan dibebani dengan kewajiban untuk menyediakan bukti tambahan yang substansial untuk mendukung keaslian dan keabsahan dokumen tersebut. Ini bisa berupa keterangan saksi ahli dari negara asal, pemeriksaan silang terhadap notaris yang bersangkutan (yang seringkali tidak praktis), atau alat bukti lain yang memperkuat keyakinan hakim.

Jika suatu putusan didasarkan pada dokumen yang keabsahannya diragukan (karena tidak diapostille), putusan tersebut mungkin akan menghadapi tantangan serius saat akan dieksekusi di yurisdiksi lain, terutama jika negara tersebut sangat ketat dalam persyaratan legalisasi dokumen.

Kesimpulan

Meskipun dilegalisasi oleh notaris asing, dokumen hukum lintas negara yang tidak diapostille memiliki kekuatan pembuktian yang sangat lemah dalam peradilan di Indonesia pasca ratifikasi Konvensi Apostille. Hakim tidak serta merta wajib menerima dokumen tersebut. Sebaliknya, hakim memiliki diskresi untuk menolak atau meminta verifikasi bukti tambahan yang memadai. Untuk menjamin kebenaran dokumen dan menghindari risiko penyesatan, apostille menjadi mekanisme paling efektif dan standar internasional yang diakui. Tanpa itu, pihak yang mengajukan dokumen harus siap menghadapi tantangan besar dalam membuktikan keabsahannya, dan berisiko putusan yang tidak menguntungkan karena kelemahan alat bukti.